Dilema Digital Marketing UMKM Batik di Masa Pandemi
Oleh: Nasrotun Alfiyah
C |
ovid-19 telah banyak merubah tananan masyarakat, mulai dari segi Kesehatan sampai sektor ekonomi. Khususnya pada para pelaku UMKM batik.
Jumangin, pemilik usaha batik di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, mengeluhkan penuruan omset pada usaha batik yang ia geluti. Imbasnya sangat terasa pada segi omset atau penjualan.
Tidak ada lagi pameran atau event batik yang bisa dilaksanakan. Konsumen pun sudah sangat jarang untuk bertandang langsung ke tempat produksi. Pesanan juga dibatalkan karena dana dialihkan pada keperluan yang lebih penting.
Sebelum adanya covid-19, batik Jumantara ini telah banyak dipamerkan dalam berbagai event. Dari situlah Jumangin memperoleh konsumen. Pembelian bisa dilakukan langsung di tempat pameran atau bisa juga dengan memesan corak custom telebih dahulu.
Batik
Jumantara ini telah memiliki trade mark langsung dari pemerintah. Hal ini
menandakan bahwa kualitas dan keaslian batik Jumantara telah diakui. Tentu saja
hal ini menambah nilai jual dari batik itu sendiri.
Batik
memilki harga jual yang bervariasi, menyesuaikan desain dan serta bahan yang
digunakan. Semakin rumit atau terbatas motif yang digunakan maka akan semakin
tinggi harga jual yang didapatkan. “Batik ini dijual mulai dari Rp. 300 ribu
sampai jutaan’, jelasnya.
Usaha
yang digeluti selama beberapa tahun itu belum memiliki nama yang besar. Namun
penjualannya sudah sampai ke luar negeri. Namun sebab adanya pandemi permintaan
pasar menjadi berkurang drastis.
Penggunaan
digital marketing sebagai upaya lain dari pemasaran offline kini sedang marak
digunakan oleh para pelaku usaha. Selain bisa menjangkau konsumen lebih luas,
pemasaran secara digital juga menghemat waktu, tenaga serta biaya. Selain itu
pemasaran digital juga lebih diminati oleh para konsumen.
Penggunaan
digital marketing menjadi salah satu solusi untuk memasarkan usaha batik. Namun
riskan terjadi plagiasi motif apabila dijual melalui marketplace. ‘Saat ini
saya hanya mempromosikan batik melalui media sosial, sebab jika dijual lewat marketplace
sangat rawan terjadi plagiasi”, jelasnya.
Platform
digital seperti dua mata pisau bagi Jumangin. Meskipun dengan memasarkan
produknya secara online bisa menaikkan traffic penjualan, hal ini juga
bisa menjadi boomerang apabila motif buatannya ditiru oleh orang yang curang.
Bisa saja motif miliknya dipakai oleh orang lain namun dengan harga yang
relatif lebih murah dari batik asli miliknya. Hal ini biasa terjadi pada
pemasaran digital melalui marketplace.
Saat
ini ia masih bertahan dengan pemasaran melalui media sosial alih-alih mencoba
memasarkan melalui marketplace. Meskipun tidak segencar merketplace
namun penjualan melalui media sosial menjadi salah satu alternatif dalam
menyiasati pemasaran yang terganggu akibat wabah covid-19.
Komentar
Posting Komentar