Carut Marut Sistem Pembelajaran di Masa Pandemi
Oleh: Vina Khoirun Nisa’
Sistem
pembelajaran sejak dulu memang selalu asyik untuk diperbincangkan. Mulai dari
pergantian kulikulum, metode pembelajaran, perkembangan bahan ajar, dan segala
macam perangkat pembelajaran. Hampir setiap pergantian mentri sistem
pembelajaran di Indonesia juga ikut berganti. Padahal sistem yang yang telah
diterapkan sebelumnya belum bisa dikatakan terlaksana, atau mungkin hampir
semua masyarakat belum bisa menyesuaikan. Hal itulah mungkin yang membuat dunia
pendidikan di Indonesia masih semrawut, karena banyak perubahan sebelum sistem
itu benar-benar berhasil. Mulai dari kurikulum 2004 (KBK), kurikulum 2006 (KTSP)
dan Kurikulum 2013, semua sistem itu belum bisa dikatakan dapat merubah kondisi
pendidikan di Indonesia.
Di masa
pandemi Covid-19 saat ini, sistem pendidikan di Indonesia tentu mengalami
banyak tantangan dan perubahan. Bahkan sistem pembelajaran saat ini selalu
menjadi trending topic yang tidak pernah ketinggalan menjadi
perbincangan media dan masyarakat
sekitar. Pasalnya, sistem pembelajaran dari offline ke online ini
banyak mengalami kontroversi antara pro dan kontra. Banyak kalangan dari mulai guru, murid, dan
orang tua yang mengeluh dengan adanya kebijakan pembelajaran online dari
pemerintah. Semua sistem pembelajaran mulai dari tingkat TK, SD sederajat, SMP
sederajat, SMA sederajat, dan perkuliahan harus dilakukan secara online,
dengan cara siswa tidak boleh bertatap muka langsung dengan pengajar. Jadi semua
guru menerapkan sistem work from home (WFH) ketika mengajar,
sedangkan siswa juga hanya bisa mendapat pembelajaran secara online dari
rumah. Masa transisi pendidikan dari offline ke online dan segala
kebijakannya inilah yang dianggap masyarakat kurang memuaskan.
Sistem
pendidikan di Indonesia saat ini bisa dikatakan hampir kehilangan jati diri.
Hal ini dikarenakan banyak masyarkat Indonesia yang memang sepenuhnya belum
siap menghadapi perubahan sistem dari pembelajaran offline ke online.
Hal ini ditandai dengan berbagai keluan masyarakat mulai dari kalangan murid,
guru, orang tua, sampai mentri pendidikan pun juga dirasa masih gagal dalam
memperbarui sistem pembelajaran. Dilansir dari popmama.id, Yusra Tebe, Konsltan Nasional dalam
Situasi Daruurat, UNICEF-RDI mengatakan bahwa saat ini lebih dari 60 juta siswa
di Indonesia tidak bisa bersekolah akibat Covid-19. Dari jumlah tersebut, angka
terbanyak berasal dari perlajar SD atau sederajat dengan total lebih dari 28
juta siswa. Kemudian disusul pelajar SMP atau sederajat dengan 13 juta siswa,
dan SMA sederajat sebanyak 11 juta siswa. Berdasarkan data tersebut, masih
banyak lagi siswa yang tidak bisa melakukan pembelajaran secara online karena
masih terkendala akses listrik, dan internet yang terbatas.
Dari hasil
jajak pendapat yang dilakukan oleh UNICEF melalui U-Report pada tanggal 5-8 Juni
2020, banyak sekali keluhan yang dialami oleh anak selama proses pembelajaran online.
Seperti merasa bosan selama belajar dari rumah (BDR), terbatasnya akses
internet, dan juga kurangnya bimbingan dari guru selama proses pembelajaran.
Banyak dari mereka berharap dukungan utama yang diberikan adalah akses
internet, selain itu support system dari guru juga sangat diperlukan.
Keluhan-keluhan tersebut tentu menjadi beban anak selama proses pembelajaran,
dan mayoritas anak Indonesia saat ini mengalami hal yang sama selama proses pembelajaran
online. Bahkan para orang tua pun juga ikut resah dalam memikirkan nasib
anak dan pendidikannya saat ini.
Selain apa
yang sudah terpapar di atas, Yusra menambahkan bahwa ada juga beberapa dampak
yang muncul pada anak akibat proses pembelajaran secara online. Terutama
kondisi kesehatan mereka, karena jika imun mereka menurun akibat pembelajaran online,
maka tubuh mereka akan mudah terserang penyakit, dan beresiko terkena
Covod-19. Kemudian dalam hal pendidikan, anak juga akan berpotensi kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan karena kurangnya akses internet, dan
juga kurangnya informasi materi yang tidak bisa dijelaskan secara detail. Hal
inilah yang kemudian menjadi paradigma bahwa pembelajaran yang dilakukan secara
online bisa menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pembelajaran
secara online bukan hanya dianggap bisa menurunkan kualitas pendidikan
di Indonesia, tapi juga menurunnya karakter anak bangsa. Hal ini dikarenakan
selama proses pembelajaran anak kurang ruang untuk berinteraksi langsung dengan
guru ataupun teman lainnya, sehingga anak kurang bersosialisai dengan baik.
Anak hanya mendengar atau melihat pendidik secara virtual, sehingga guru tidak
bisa mencontohkan pendidikan moral secara langsung kepada murid. Selain itu
dari segi psikososial juga berpengaruh, karena anak akan merasa bosan,
kesehatan mentalnya terganggu, semangatnya menurun, sehingga kemampuan belajarnya
pun juga ikut menurun. Hal ini juga dianggap lebih mengkhawatirkan karena bisa
mengakibatkan anak mengalami depresi.
Dari
beberapa dampak pembelajaran online yang sudah dijelaskan, tentunya
harus ada solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
tersebut. Salah satunya yaitu perlu adanya perbaikan kurikulum yang bisa
menyederhanakan sistem pembelajaran. Seperti yang dikatakan oleh Fahriza Marta
Tanjung, Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, bahwa dalam situati saat ini
perlu adanya diberlakukan kurikulum darurat atau penyederhanaan kurikulum,
karena situasi di lapangan saat ini memang berbeda dari keadaan normal
biasanya. Dalam hal ini, kurikulum darurat dianggap sangat penting untuk
dipersiapkan karena situasi yang serba terbatas akibat pandemi. Jadi akan lebih
baiknya jika pembelajaran dikelompokkan menjadi literasi, sains, pendidikan
kecakapan hidup, dan pendidikan karakter. Cukup beberapa pelajaran dengan
penyampaian yang jelas dan rinci saja, sehingga tidak banyak beban mata pelajaran
yang diampu oleh siswa.
Selain
solusi yang ditawarkan diatas, sepertinya masa transisi pendidikan dari offline
ke online ini sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
terlebih mentri pendidikan saja. Tetapi juga perlu kerja sama antara guru,
murid, serta orang tua sebagai support system pertama selama masa
pembelajaran online. Orang tua sebagai pendidik pertama di rumah juga
harus ikut andil selama proses pembelajaraan online. Bisa dikatakan
orang tua saat ini sebagai pengganti guru di sekolah, jadi sebisa mungkin orang
tua harus mendampingi anak ketika belajar online. Paling tidak berkat
dorongan dan motivasi dari orang tua selama proses pembelajaran, anak tidak
merasa sendiri sehingga bisa menimbulkan semangat belajar pada anak. Selain
itu, orang tua juga diharapkan bisa mengontrol anak agar tidak terlalu bermain gadget.
Berikan gadget hanya ketika proses belajar atau hiburan sesaat, agar
anak tidak kecanduan dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang tidak baik dari
dunia maya.
Hal lain
yang perlu diperhatikan untuk mendukung pembelajaran online adalah paltform
media pembelajaran yang mumpuni sesuai dengan kualitas dan kondisi anak
Indonesia. Saat ini memang sudah tersedia beberapa platform pembelajaran
yang bisa diakses guru, murid ataupun orang tua untuk pembelajaran online. Namun
beberapa platform tersebut masih dianggap kurang efektif bagi murid,
karena memang semua platform pembelajaran tersebut masih ada plus
minus nya. Oleh karena itu, pemerintah juga diharapkan bisa melakukan
perbaikan platform sedikit demi sedikit
agar pembelajaran online bisa lebih efektif. Selain itu,
pemerintah juga harus memperluas jaringan akses internet terutama di tempat-tempat
terpelosok, serta bantuan kuota agar lebih bisa menunjang proses pembelajaran online.
Dengan demikian, problematika pembelajaran online bisa teratasi sedikit
demi sedikit, sehingga bisa menciptakan kualitas pendidikan sesuai dengan harapan
dan cita-cita bangsa.
Komentar
Posting Komentar