OLIGARKI DALAM LINGKARAN IMPUNITAS HAM DI INDONESIA
Oleh :
Iskandar
Anggota PMII
Komisariat Sunan Ampel Kediri, Rayon Al-Kindy
e-mail : iskandar.awp@gmail.com
Dalam catatan kecil penulis, kasus-kasus HAM di
Indonesia yang melibatkan kaum elit, selalu kandas di meja hijau. Entah karena kurangnya bukti-bukti persidangan atau
karena kekuatan golongan elit yang mampu merubah sebuah keputusan. Kasus Munir,
adalah sebuah realita catatan kelam dalam pelanggaran kasus HAM di Indonesia. Kenyataan
ini, bak menelan sebuah pengalaman pahit yang dilakukan berkali-kali sampai
terbiasa dan akhirnya lupa dengan rasa pahitnya. Pemandangan seperti ini tidak
boleh dibiarkan, karena hal ini mampu menyebabakan dikriminasi dan disitegrasi
keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia. Oligarki tidak boleh
dilanggengkan dan Impunitas terhadap HAM harus ditumbangkan.
Dari 15 kasus HAM berat masa lalu yang terjadi sejak
tahun 1965, baru 3 kasus yang sudah diadili, masih ada 12 kasus yang masih
dalam proses penyelidikan (Aditya : 2020). Jika diprosentasikan hanya 20% saja,
dari kasus berat HAM di Indonesia yang sudah ditegakkan. Hal ini menujukkkan
adanya ketimpangan dalam penegakan Pengadilan HAM yang ada di Indonesia.
Undang-undang No 26 Tahun 2000, sudah sangat jelas dalam mengatur Pengadilan HAM
di Indonesia, namun pada tataran implementasi, masih sangat sulit untuk
menjerat para pelanggar HAM terutama jika sudah menyentuh kaum Oligarki.
Adanya Undang-undangn No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tidak juga mampu
membuat para pelanggar HAM, beranjak dari kebiasaan duduk manis minum kopi,
sambal menyaksikan drama-drama persidangan HAM yang sedang terjadi. Hal ini, diperparah
lagi dengan adanya Impunitas HAM, yang seolah-olah menjadi angin surga
bagi para pelanggar HAM di Indonesia.
Dari 12 kasus HAM berat yang belum tertangani, 8
kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-undang No 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, sedangkan 4 kasus lainnya terjadi setelah terbitnya UU No 26
Tahun 2020 (Erdianto : 2020). Delapan kasus HAM tersebut adalah peristiwa 1965,
peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Trisakti Semanggi I dan
Semanggi II Tahun 1998, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara
paksa 1997, peristiwa talangsari Lampung 1998, peristiwa simpang KKA Aceh 1999,
peristiwa rumah geudong Aceh 1998, dan peristiwa pembunuhan dukun santet
Banyuwangi 1998. Sedangkan untuk empat kasus lainnya yaitu peristiwa wasior,
wamena, paniai di papua dan peristiwa jambo keupok di Aceh. Burhanuddin (2020)
menyatakan bahwa tahap penanganan perkara HAM yang telah dilakukan oleh Komnas
HAM terhadap 12 perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia, hasilnya baik secara
persyaratan formil dan materiil, belum memenuhi secara lengkap. Hal inilah yang
menjadi pertanyaan besar untuk kita semua. Kekuatan apa yang telah membungkus
peristiwa-peristiwa tersebut, sehingga para pelanggarnya menjadi tak tersetuh
oleh kekuatan Hukum yang ada di Indonesia. Apakah peristiwa tersebut ada sangkut-pautnya
dengan kekuatan elit politik yang mengendalikan negeri ini? Atau Apakah Oligarki
di negeri ini sudah demikian menjadi-jadi? Dari dulu, kekuatan kaum Oligarki
seperti tiada tandingannya. Bahkan, yang berani memberi saksi pun akan “dibeli”
atau mereka akan “mati”.
Kaum Oligarki, tidah hanya mengendalikan
Pemerintahan, tapi telah memegang kuasa atas Impunitas HAM di Indonesia.
Sosio-kultur di Indonesia, memang akan lebih menghargai kaum elit, dengan
kedudukan jabatan tertentu dan finansial yang berlebih, dari pada rakyat
jelata. Pola pikir dan budaya ini yang menjadi masalah untuk kita semua. Me-leveling
tingkat penghargaan terhadap orang lain hanya dilihat dari jabatan dan kekuatan
ekonomi saja. Ketimpangan ekonomi dan kedudukan, menjadi pemicu terjadinya
ketimpangan perlakukan seseorang dimata Hukum. Hal ini, menjadikan hukum tebang
pilih dan kadang salah sasaran akibat pemelintiran oleh sekelompok orang yang
berkuasa. Pengijakan terhadap HAM bagi kaum jelata, menjadi hal yang tak tabu
dan merajalela. Semestinya, kedudukan Hukum dan HAM, berjalan sesuai
tupoksinya. Tidak boleh tebang pilih, dan harus ber-Asaskan Keadilan. Sehingga,
pengamalan terhadap sila ke-5 Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, dapat tercapai. Untuk itu diperlukan solusi-solusi terbaik, untuk penegakan
Hukum terhadap HAM yang selama ini telah porak-poranda.
Ada beberapa solusi yang dapat ditawarkan, untuk
penegakan hukum terhadap HAM yang ada di Indonesia yaitu pertama, setiap pelanggar HAM yang
dilaporkan, harus memiliki bukti-bukti kuat dipersidangan dan saksi-saksi yang
dapat dipercaya, dan tidak mudah “dibeli”. Hal ini berkaca pada kasus-kasus HAM
yang sudah-sudah, bahwa hal yang paling sulit dalam penanganan kasus HAM yaitu
pembuktian pelanggaran HAM itu sendiri. Bukti-bukti seperti foto, video, atau
tulisan, sangat membantu dalam proses
persidangan. Tanpa adanya bukti-bukti yang kuat, maka proses persidangan dalam
rangka menjerat pelaku pelanggar HAM akan seperti menebar garam ke lautan saja.
Sia-sia. Selanjutnya, harus ada saksi yang dapat dipercaya dan tidak mudah “dibeli”.
Saksi yang mudah “dibeli”, justru akan menyulitkan si pelapor dalam proses
persidangan. Alih-alih ingin menegakkan HAM, justru malah akan berbalik menjadi
tersangka jika Saksi memutar balikkan fakta.
Kedua, yaitu pelanggar HAM, harus diperlakukan sama
walupun pelanggar HAM dari kalangan pejabat atau oknum politisi tertentu. Perlakuan
yang berbeda akan mengkebiri rasa Keadilan dan Kekuatan Hukum dimata
Masyarakat. Impunitas terhadap kaum elit harus dimusnahkan, karena hal
tersebut menginjak-injak eksistensi Hak Asasi Manusia. Begitu kuatnya dorongan
ingin menegakkan HAM, justru adanya Impunitas bagi golongan tertentu
akan melemahkan HAM itu sendiri.
Ketiga, yaitu adanya penjaminan keamanan yang ketat,
terhadap pelapor pelanggaran HAM (aktivis HAM). Hal ini sangat diperlukan,
untuk menegakkan HAM dengan rasa keberanian yang tinggi. Sehingga, tidak ada lagi
istilah tidak berani melaporkan pelanggaran HAM, karena takut “dimusnahkan”
atau “dimatikan”. Hal ini juga berkaca, pada Kasus Munir, seorang aktivis HAM
yang “hilang” setelah bekoar-koar soal penegakkan HAM. Catatan kelam masa lalu,
yang terjadi pada para aktivis HAM, tidak boleh terjadi dan terulang lagi pada
masa sekarang. Dalam hal ini, pemerintah harus betul-betul berkomitmen terhadap
penjaminan keamanan bagi para pelapor (aktivis) HAM.
Keempat, yaitu negara menjamin proses peradilan
bersih dari praktek-praktek politik kepentingan dan KKN. Ini adalah hal yang paling
mendasar dari semua solusi yang sudah ditulis diatas. Negara harus menjamin
proses peradilan dari praktek-praktek politik kepentingan dan KKN. Cara-cara
untuk terhindar dari praktek-pratek ini harus menjadi prioritas utama dalam
penegakan hukum secara umum, khususnya terhadap Pengadilan HAM. Semua harus ber-Asaskan
Keadilan tanpa tebang pilih. Hakim harus berani menegakkan kebenaran diatas
segala-galanya. Implementasi terhadap hal ini harus dikawal dengan baik. Mulai
dari keamanan Hakim dan Jaksa, Pengembangan Kompetensi terhadap Hakim dan Jaksa,
Seleksi terhadap Hakim dan Jaksa, sampai pada hal-hal yang menyangkut soal finasial
yang diperoleh Hakim dan Jaksa juga harus diperhatikan oleh Negara. Semua itu
dilakukan agar sistem peradilan kita terhindar dari praktek-praktek politik kepentingan
dan KKN. Sistem Peradilan kita harus Independent. Hukum harus
seadil-adilnya dan tidak memihak pada golongan manapun.
Pada akhirnya, penulis hanya bisa berharap, semoga Oligarki
dalam lingkaran Impunitas HAM, dapat dimusnahkan. Praktek-praktek Oligarki
di negeri ini pun juga harus dihilangkan, sehingga kekuatana tertinggi dari Negeri
ini adalah Rakyat. Pemerintahan dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat
adalah jargon yang sudah tepat untuk diimplmentasikan di Negeri ini. Begitu juga soal Impunitas. Impunitas
dalam penangaanan kasus HAM, harus diminimalisir sekecil mungkin. Hak-hak Impunitas
terhadap seseorang atau golongan tertentu harus dilenyapkan. Sehingga, jika
semua itu terjadi, maka Penegakkkan Pengadilan HAM, bisa berjalan dengan baik.
Tidak ada lagi penyaderaaan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia. Yang pada
akhirnya, cita-cita Indonesia menjadi negara yang Berkeadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat ndoenesia, dapat terwujud. Terima kasih.[]
👍👍👍
BalasHapusMantul
BalasHapus