Things Happen For a Reason
“Segala sesuatu terjadi pasti karena alasan tertentu, bukan hanya kebetulan.”
Sampai sekarang, doktrin itulah yang selalu ku percaya. Entah benar atau tidak, tapi hukum tersebut yang selalu menyertai kehidupanku. Tak ada kebetulan-kebetulan indah yang akan terjadi pada seorang gadis yang tinggal di pelosok hutan, dengan pakaian lusuh dan keranjang buah serta tudung yang terselempang di atas kepala. Dari segi manapun, kalian tak akan dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya.
Terkadang di waktu senggang, sempat terpikir tentang betapa menakjubkannya kehidupan di atas sana. Tepatnya di bawah istana megah di puncak dataran tinggi, pasti sangat menyenangkan dengan berbagai macam jamuan makanan, perhiasan mewah, dan gaun-gaun yang luar biasa indah. Tapi terkadang juga penasaran, apakah mereka yang tinggal di dalam istana itu juga sama bahagianya dengan yang kupikirkan?
Kembali pada pembahasan awal, jawabannya pasti iya. Sebab mereka memiliki alasan untuk bahagia. Harta, budak, kecantikan, bukankah semua itu seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjadikan seseorang bahagia?
Semburat jiwa telah memenuhi sudut-sudut
langit. Rombongan burung yang terlihat membentuk formasi ke arah peraduannya
menjadi pertanda bagi seluruh pekerja untuk pulang dan beristirahat. Aku yang
sedari tadi sibuk mengumpulkan buah, kini juga bergegas pulang sebelum langit
semakin gelap. Akan semakin merepotkan jika gadis remaja sepertiku tersesat di
hutan yang luas.
***
Maple adalah tumbuhan langka yang jarang ditemukan dikawasan hutan seperti ini. Pohon berdaun jingga kecoklatan itu biasanya tumbuh di sekitar taman-taman istana yang memiliki pasokan air melimpah dan udara yang segar. Aku harus segera mendapatkan daun maple itu untuk mengobati warga yang terkena racun. Sangat merepotkan memang, namun setidaknya aku tak perlu memetik buah-buahan seharian ini.
Satu dua kali menyusuri hutan, sama sekali tak ada sehelai daun maple pun yang terlihat. Sampai matahari tepat di atas kepala, aku hampir menyerah. Baru saja hendak berjalan pulang, tiba-tiba saja pandanganku menubruk sesuatu di bawah pohon, di antara rimbunan semak belukar.
Warna jingga! itu pasti daun maple.
Dengan hati-hati ku ulurkan tangan yang hendak meraih helai tersebut. Namun sepertinya ada yang aneh. Dari balik semak belukar terdengar suara seperti isak tangis anak kecil.
“Astaga!” pekikku sepontan. Benda yang kupikir
daun maple ternyata ujung gaun putri raja. Tunggu!? Sedang apa putri raja berada
di tengah hutan seperti ini?
“Suatu kehormatan dapat bertemu dengan anda tuan putri...” sapaku sambil membungkuk sebagai tanda hormat.
Mikayla Asher, putri tunggal raja Asher itu hanya memandangku sekilas, kemudian kembali menenggelamkan kepalanya dengan posisi duduk bersandar sambil memeluk lutut. “ Apa gerangan yang membawa anda kemari, tuan putri?” tanyaku penasaran. Putri Kayla mendongak, kembali menatapku. Tangannya sibuk mengusap ingus khas bocah kebanyakan.
“Hanya kebetulan!” jawabnya asal, yang juga terdengar sedikit ketus. Entah mendapat keberanian dari mana, aku ikut duduk menyandarkan tubuhku di sampingnya. “Di dunia ini tak ada yang namanya kebetulan, tuan putri..” ujarku memberi kesimpulan. “Hamba bertemu anda disini karena salah mengira gaun anda adalah gaun maple, dan itu bukanlah suatu kebetulan.” lanjutku. Putri Kayla menatapku sedikit mengernyit. Mungkin ia belum sepenuhnya faham dengan apa yang kukatakan.
“Ayolah, Pastinya anda duduk di tengah hutan
belantara ini bukan karena suatu kebetulan.” telakku pasrah. “Aku…” gadis kecil
itu terlihat ragu. Aku menganggukkan kepala menanti kalimat berikutnya. “Aku …
ingin bermain.” lanjutnya dengan menundukkan kepalanya kembali. “Ber-ma-in?”
ulangku, memberi penekanan pada setiap suku kata untuk meyakinkan kalau aku
tidak salah dengar. Putri Kayla mengangguk sedih, aku pun merasa iba padanya.
Namun dari sekian banyak permintaan, bermain adalah perkara yang mudah saja
dikabulkan. Tapi kenapa Putri raja sampai repot-repot kabur dan menangis di
tengah hutan hanya untuk bermain?
“Biasanya aku bermain dengan ayah,” ucapnya sambil terisak. “Tapi akhir-akhir ini ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya.” Aku pun terdiam sejenak. Jika itu yang menjadi masalahnya, tak ada yang bisa ku lakukan selain diam. Permintaannya diluar wewenang sebagai rakyat jelata.
“Berkenankah anda mendengarkan dongeng dari hamba?” Tanyaku menawarkan. Perhatian tuan putri sedikit tersita, wajahnya masih terlihat kusut, namun kesedihan di matanya terlihat memudar secara perlahan. Gadis itu pasti tertarik akan penawaranku.
“Tapi dengan syarat, mendongeng nya sambil
berjalan pulang ke istana.” tambahku. Sang putri menyetujui syarat tersebut dan
aku mulai menceritakan dongeng-dongeng lama. Tentu sambil berjalan ke arah
matahari terbit, yang merupakan jalan tercepat menuju istana.
Dongeng yang aku sampaikan berakhir saat gerbang istana sudah mulai terlihat. Aku persilahkan tuan putri untuk segera masuk sebelum matahari sempurna tenggelam. Saat aku berbalik hendak berjalan pulang, tuan putri dengan tergesa-gesa lari ke arahku. Tangan mungilnya penuh dengan tumpukan daun maple.
“Terimalah,” pintanya malu-malu
“Sebagai hadiah, dan tanda terima kasihku.”
Aku tersenyum, “Hamba sangat berterima kasih, anda putri kecil yang cantik.” ungkapku sedikit memuji. “hatimu jauh lebih cantik” balasnya.
Segera kubalikkan badan dan pergi menjauh sebelum sang putri melihat senyum kecut. Sungguh! Dia tak akan mengatakan hal itu jika aku tak mendongeng dan mengantarkannya pulang. Masih ingat bukan? Kalau tak ada satupun yang terjadi karena kebetulan.
Dan saat tiba di rumah, hewan-hewan malam sudah mulai bersahutan. Keesokan harinya, aku terbangun mendengar riuh warga desa. Hal ini biasa terjadi saat mereka kedatangan tamu dari desa sebelah atau luar hutan.
“Edith!!!”
Seseorang menyebut namaku dan membuka pintu
rumah dengan paksa. Namun ku-urungkan niat menegur demi melihat nafas
tersenggal dan raut paniknya.
“Yang mulia ratu… mencarimu..!”
Aku segera beranjak. Sebenarnya tak begitu
terkejut mendengar kabar tersebut, namun mengetahui permaisuri sendiri yang datang, membuatku agak sungkan.
Dengan penampilan seadanya, kuberanikan diri menghadap sang ratu yang telah menunggu tak jauh dari rumahku.
“Hamba menghadap yang mulia.”
Dapat kurasakan saat ini permaisuri sedang
mengamati ku dengan jeli, kemudian turun dari tandu kereta kudanya.
“Aku ingin membicarakan sesuatu tapi bukan
disini.” ujarnya.
“Apa tentang putri anda?” tanyaku khawatir.
“Hanya sebagian kecil.”
Yang mulia ratu memberi isyarat agar aku naik
ke dalam tandu. Dengan sedikit enggan aku menuruti keinginannya, dan kami
berdua segera pergi ke tempat yang diinginkan-nya.
***
Tepi sungai pictus.
Satu satunya sungai yang mengalir di sepanjang hutan Aragon, terus hingga ujung perbatasan wilayah kepemilikan Raja Asher. Satu-satunya juga yang menyimpan sejarah percintaan kelam, Si miskin Jaedan dan tuan putri Anastasya yang amat melegenda.
“Putriku… sangat menyukai dongeng-dongeng yang
kau ceritakan.”
Kami duduk di atas bebatuan yang terhampar di tepian sungai. Kali ini kami benar-benar berdampingan, hanya jarak beberapa jengkal saja.
“Itu hanya dongeng-dongeng lama yang mulia,” sanggahku merendah. Sang ratu terdengar menghela nafas, entah lega atau karena lelah.
“Jaedan dan Anastasya, aku tahu kisah itu bukan sekedar dongeng.” Ratu ganti menatapku. “Dan apa yang kau ceritakan pada Kayla, bukankah itu fakta tentang mereka berdua?”
Aku tersenyum maklum. Sudah kuduga gadis polos itu akan mengatakan sesuatu pada ibunya. Legenda itu memang terkenal dengan kisah cinta berujung kematian si miskin. Namun segelintir penduduk, termasuk mendiang kedua orang tuaku, mengetahui kebenaran dibalik dongeng pilu tersebut.
Sebelum meninggal, ibu telah menceritakannya
padaku.
“Memang hanya sedikit yang mengetahui nasib
sebenarnya dari si miskin Jaedan yang mulia… dan hamba termasuk dari yang
sedikit itu,” ungkapku, sedikit bangga.
“Lalu, Jaedan yang kebetulan bertemu, mencintai dan mati demi Anastasya… semua itu bukan hanya mitos kan?” Ratu makin gencar bertanya; penasaran.
“Bukan kebetulan yang mulia…” ralat ku menahan geram. Heran kenapa semua orang selalu menyangkutkan kebetulan dalam perjalanan hidupnya?
“Jaedan bertemu tuan putri karena mereka
sama-sama mencari mawar liar di rawa,” rapalku menyebutkan bukti pertama, “Kemudian
saling mencintai karena memiliki prinsip dan impian yang sama.” Lanjutku.
“Ingat saat Anastasya dijodohkan oleh Raja ? Itulah penyebab Jaeden menderita dan hampir gila, lalu saat calon permaisuri itu memilih untuk pergi dan mengakhiri hidup di tengah derasnya sungai Pictus,” ku beri sedikit jeda untuk meningkatkan efek dramatisnya.
“Tunggu,” Potong ratu. Anastasya berniat bunuh
diri di sungai Pictus? Itu tak ada di buku dongeng.”
“Memang, tapi itulah kenyataanya. Jaedan yang tadinya dituduh menyembunyikan tuan putri, malah bergegas ikut mencari dimana keberadaanya.”
Aku menghela nafas, seakan ikut merasa sesak dengan apa yang menimpa laki-laki malang itu. Sedangkan ratu hanya diam, menanti kisahku selanjutnya.
“Saat Anastasya ditemukan, tubuhnya sudah setengah tenggelam. Tentu Jaeden segera terjun tanpa pikir panjang. Hasilnya, calon permaisuri selamat dan pujaan hatinya terbawa arus deras. Sebagai ganti dari arus tersebut, raja dan ratu segera melangsungkan pesta pernikahan.”
“Selanjutnya, ratu Anastasya menjadi penguasa hutan Aragon yang penuh kenangan ini bukan? kemudian bayi laki-laki yang tak lain adalah ayah raja Asher, suamiku.” Sang ratu menyambung kisah.
Aku diam membenarkan kalimatnya. Raja Asher adalah keturunan dari ratu Anastasya itu sendiri. Lalu setelah semuanya, bukankah tak ada yang terjadi secara kebetulan.
“Bahkan tuhan juga memiliki alasan saat
menciptakan makhluk-makhluk-nya. Bukan hanya sekedar kebetulan.” Imbuhku.
“Jika pemikiranmu benar, maka bukan suatu kebetulan raja mengurus rakyat lebih sering dari biasanya.” Ungkap ratu sedikit resah “Pasti ada penyebabnya.”
”Pasti yang mulia!” Tandasku yakin.
“Entah penyebabnya dari luar atau dalam, tetap saja memiliki alasan.” Kuberanikan diri diri menjelaskan.
“Mungkin anda mengira penyebabnya adalah orang luar. Namun jika lebih detail mengamati, keadaan di dalam justru mempunyai peluang besar untuk menjadi penyebab utama.”
Sang ratu mengernyit heran, “ Maksudnya?”
“Jika boleh hamba memberi saran, jangan membebani fikiran dengan prasangka-prasangka yang berlebihan. Sebaiknya anda fokus memperhatikan apa yang diinginkan oleh raja, dan jangan lupa untuk lebih terbuka dengan keinginan anda.” Jawabku mengakhiri penjelasan.
“Kau benar.” ungkap ratu puas “Sepertinya aku
mulai mempercayai jalan pikiranmu itu.”
Aku hanya tersenyum patuh. Masih ada yang belum
anda ketahui yang mulia, batinku.
“Senja hampir tenggelam, aku harus segera kembali ke istana.” Panut ratu.
“Silahkan yang mulia, hamba masih ingin singgah di suatu tempat” Tolakku halus.
“Siapa namamu?”
“Edith yang mulia”
“Baiklah Edith, aku akan terus mengingat hari ini.”
Yang mulia ratu masuk ke dalam tandu dan berlalu pergi. Aku baru beranjak saat mereka telah hilang dari pandangan.
Menyusuri jalan menanjak sepanjang sungai Pictus
memang sangat melelahkan. Namun saat siluet gubuk di ujung jalan telah tampak,
lupa sudah segala penat yang tadi sangat terasa.
Gubuk itu memang tampak tak terurus, tapi kenangan lama milik dua insan masih terus melekat di dalamnya.
Inilah yang tak diketahui sang ratu! Bahwa deras arus sungai Pictus tak lantas membunuh sosok Jaeden. Si miskin itu bahkan masih sanggup melanjutkan hidup, berumah tangga dan memiliki keturunan. Ratu, batinku. Suatu saat anda akan mengerti bahwa apapun yang terjadi karena suatu alasan, pasti memiliki keterkaitan dengan alasan lain. Entah baik atau buruk.
“Edith, kaukah itu?”
Suara berat segera menyambut saat pintu gubuk ku buka perlahan. Pemilik suara itu tampak sedang duduk di tepi ranjang, sepertinya menunggu kedatanganku. Beberapa helai daun maple berserakan di atas meja.
“Apa racunnya sudah hilang?” Tanyaku cemas.
Ia membalas dengan senyum hangat. Setelah
sampai di sisinya, dia merengkuh tubuhku yang sedingin es.
“Berkat kau… sayang”
Kupejamkan mata sesaat, meresapi hangat tubuhnya. Lihatlah! Pria yang dua hari berturut-turut dikeluhkan oleh orang-orang terdekatnya, pun yang menjadi keturunan ratu Anastasya, kini sedang memelukku tulus.
Dia adalah raja Asher penguasa hutan Aragon,
dan aku mencintai, amat sangat mencintainya.
Mungkin seperti inilah cara tuhan bertindak. Dia menyelamatkan si miskin Jaeden agar dapat memiliki keturunan. Dan keturunan itu lahir untuk mengulang lagi kisahnya yang gagal.
Seperti ini juga tuhan menyusun skenario takdir. Saat beberapa hari yang lalu mengunjungi makam kakekku; Jaeden, saat itu pula raja tertatih mendekat sambil merintih kesakitan. Kemudian berangkat dari obrolan panjang tentang prinsip dan impian, kami saling mencintai. Dengan alasan yang sama persis seperti kakek ku dan neneknya dahulu.
“Maka alasan-alasan yang saling berkaitan itu, dapat juga disebut takdir bukan?” Tanya sang raja hampir pada diri sendiri “ Entah mengapa aku sedikit bersyukur dengan takdir yang menimpa mereka berdua.”
Aku tersenyum paham dengan apa yang dipikirkan-nya. Jika saja Jaeden dan Anastasya bersatu, sudah pasti kami berdua terlahir sebagai saudara kandung.
“Aku sangat
mencintaimu.” Ungkapku tulus, sedikit mempererat pelukan padanya.
Untuk kalian yang mungkin saja mencaciku setelah mengetahui kebenarannya, yang gelap mata dan enggan melihat dari sisi pandang berbeda, aku sama sekali tak peduli. Karena aku percaya, untuk alasan inilah aku dilahirkan.
Penulis: Ayesha_Humeera
Komentar
Posting Komentar